Perjalanan Pendidikan Nasional
Seperti yang kita ketahui, bahwa pendidikan adalah pondasi awal kemajuan sebuah bangsa. Bangsa dengan muda-mudi terdidiknya tentu mampu membawa perubahan positif dan semangat mendorong kemajuan nyata pada negara. Semangat ini bisa kita lihat dari R.A. Kartini yang suka membaca dan menulis, serta memperjuangkaan hak pendidikan untuk wanita. Lalu Ki Hajar Dewantara yang mendirikan sekolah untuk Taman Siswa untuk masyarakat. Bisa dibilang, sekolah dan pendidikan di Indonesia cukup banyak dipengaruhi oleh masa penjajahan yang berlangsung. Dulunya, sekolah hanya untuk kaum bangsawan, tetapi lambat laun berubah menjadi sekolah untuk semua.
Bagaimana perjalanan pendidikan Indonesia?
Yuk, kita mulai cari tahu tentang sejarah pendidikan Indonesia!
A. Masa Sebelum Kemerdekaan
1. Era Kolonial
Belanda adalah negara pertama yang memperkenalkan pendidikan dasar pada masa penjajahan.
Pada tahun 1870, Kebijakan Etis Belanda membuka pintu bagi pribumi untuk dapat bersekolah. Hal inilah yang kemudian menjadi cikal bakal sekolah dasar di Indonesia. Pada tahun 1871 parlemen Belanda mengadopsi undang-undang pendidikan baru yang berusaha menyeragamkan sistem pendidikan pribumi agar merata di seluruh nusantara di bawah pengawasan pemerintah kolonial. Namun seringkali pembangunan ini kekurangan dana karena banyak politisi Belanda yang khawatir perluasan pendidikan akan menimbulkan sentimen anti-kolonial.
Pemisahan antara Belanda dan Indonesia dalam sektor pendidikan mendorong beberapa tokoh Indonesia untuk memulai lembaga pendidikan bagi masyarakat setempat.
Pada masa penjajahan juga terjadi kesenjangan yang besar antara penduduk laki-laki dan perempuan terpelajar. Hal ini menginspirasi tokoh perempuan terdidik seperti Kartini dan keluarga Van Deventer untuk meningkatkan keterlibatan perempuan dalam pendidikan.
2. Era Penjajahan Jepang
- Pendidikan Pada Masa Pergerakan
Sekolah-sekolah tersebut yaitu
1) Sekolah-sekolah yang sesuai haluan politik, seperti yang diselenggarakan oleh: Ki Hadjar Dewantara (Taman Siswa), Dr. Douwes Dekker atau Dr. Setyabudhi (Ksatrian Institut), Moch. Sjafei (INS Kayutanam), dan sebagainya.
2) Sekolah-sekolah yang sesuai tuntutan agama (Islam), seperti yang diselenggarakan oleh: Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Sumatera Tawalib di Padangpanjang, dan lainnya Selain itu, sebelumnya telah diselenggarakan pula pendidikan oleh tokoh-tokoh wanita seperti R.A. Kartini (di Jepara), Rd. Dewi Sartika (di Bandung), dan Rohana Kuddus (di Sumatera).
Kebijakan dan praktek pendidikan yang diselenggarakan rakyat dan kaum pergerakan, yaitu:
a. R.A. Kartini (1879-1904) Pada tahun 1903 Ia membuka “Sekolah Gadis” di Jepara, dan setelah menikah ia membukanya lagi di Rembang. Karena usianya yang relatif pendek, usaha Kartini di bidang pendidikan tidak terlalu banyak, namun ia telah memberikan petunjuk jalan, melakukan rintisan pendidikan bagi kaum wanita. Cita- citanya memberikan gambaran perjuangan dan cita-cita kaum wanita Indonesia.
b. Rd. Dewi Sartika (1884-1947)
Pada tahun 1904 Ia mendirikan “Sakola Isteri” (Sekolah Isteri). Murid pertamanya berjumlah 20 orang, makin lama muridnya bertambah. Pada tahun 1909 sekolah ini melepas lulusannya yang pertama dengan mendapat ijazah. Pada tahun 1912 di 9 kabupaten seluruh Pasundan telah dijumpai sekolah semacam Sekolah Isteri Dewi Sartika. Pada tahun 1914 Sekolah Isteri diganti namanya menjadi “Sakola Kautamaan Isteri” (Sekolah Keutamaan Isteri), dan pada tahun 1920 tiap-tiap kabupaten di seluruh Pasundan mempunyai Sakola Kautamaan Isteri. Adapun untuk melestarikan sekolah-sekolahnya itu dibentuk “Yayasan Dewi Sartika”.
c. Rohana Kuddus (1884- 1969)
Rohana Kuddus dikenal sebagai wanita Islam yang taat pada agamanya dan sebagaimana kedua tokoh di atas ia giat sekali mempelopori emansipasi wanita. Selain sebagai pendidik, ia pun adalah wartawan wanita pertama Indonesia. Sebagaimana dikemukakan I. Djumhur dan H. Danasuparta (1976), pada tahun 1896 (pada usia 12 tahun) Rohana telah mengajarkan membaca dan menulis (huruf Arab dan Latin) kepada teman-teman gadis sekampungnya. Pada tahun 1905, ia mendirikan Sekolah Gadis di Kota Gedang. Pada tgl. 11 Februari 1911 ia memimpin Perkumpulan Wanita Minagkabau yang diberi nama “Kerajinan Amai Setia” yang kemudian dijadikan nama sekolahnya. Rohana juga berjuang menerbitkan surat kabar khusus untuk wanita. Pada tgl 10 Juli 1912 Rohana menjadi pemimpin redaksi surat kabar wanita di kota Padang yang diberi nama “Soenting Melajoe”.
d. Budi Utomo
Pada tahun 1908 Budi Utomo dalam kongresnya yang pertama (3-4 Oktober 1908) menegaskan bahwa tujuan perkumpulan itu adalah untuk kemajuan yang selaras buat negeri dan bangsa Indonesia, terutama dengan memajukan pengajaran, pertanian, peternakan, dagang, teknik industri, dan kebudayaan. Untuk itu Budi Utomo pada tahun 1913 mendirikan Darmo-Woro Studiefonds; dan mendirikan tiga Sekolah Netral di Solo dan dua di Yogyakarta. Pada tahun 1918 mendirikan Kweekschool di Jawa Tengah, kemudian Sekolah Guru Kepandaian Putri untuk Sekolah Kartini, enam Normaal School, dan sepuluh Kursus Guru Desa, dsb. Pada tahun itu sekolah-sekolah Budi Utomo telah berkembang hingga jumlahnya kurang lebih mencapai 480 (H.A.R. Tilaar, 1995).
e. Muhammadiyah
Pada tanggal 18 November 1912 K. H. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi perkumpulan Muhammadiyah di Yogyakarta. Muhammadiyah dengan berbagai sekolahnya, didirikan dalam rangka memberikan pendidikan bagi bangsa Indonesia sesuai dengan kebutuhan bangsa Indonesia sendiri, untuk mengatasi kristenisasi, dan untuk mewujudkan masyarakat Islam yang melaksanakan ajaran al-Qur’an dan Hadits sesuai yang diajarkan Rosululloh (Nabi Muhammad S.A.W).
B. Era Kemerdekaan
Dalam pendudukan Jepang dan Belanda, sebagian besar lembaga pendidikan berdiri untuk memberikan dukungan dan kebutuhan mereka alih-alih bertujuan untuk memajukan intelektual penduduk Indonesia.
Setelah proklamasi kemerdekaan 1945, pemerintah pertama Indonesia harus merombak sistem dari awal dan menolak sistem kolonial Eropa. Maka terlahirkan undang-undang yang menyatakan “setiap warga negara berhak atas pendidikan”.
Lembaga baru berupaya menciptakan pendidikan yang anti diskriminatif, elitis dan kapitalis dalam rangka memajukan nasionalisme. Tercetus pula keputusan bahwa agama harus lebih mendapat perhatian, sehingga lahirlah dukungan untuk Pesantren dan Madrasah Islam.
Hingga saat ini Indonesia masih terus berupaya memajukan sektor pendidikan. Hal ini dapat kita lihat dari pendidikan yang semakin merata, buta literasi kian menurun, dan kualitas pengajar yang terus meningkat. Indonesia juga mengembangkan pendidikan dengan mengirimkan muda-mudinya untuk belajar di luar negeri dan menyerap sebanyak mungkin ilmu. Mencapai pendidikan optimal bukan jalan yang mudah, namun Indonesia pantang menyerah untuk menjadi negara terdidik dengan sumber daya cerdas.