A. Asal Mula Penduduk Tangerang
Penduduk asli yang mendiami Tangerang.
Latar belakang penduduk yang mendiami Tangerang dalam sejarahnya dapat diketahui dari berbagai sumber antara lain sejumlah prasasti, berita-berita Cina, maupun laporan perjalanan bangsa kulit putih di Nusantara.“Pada mulanya, penduduk Tangeran boleh dibilang hanya beretnis dan berbudaya Sunda. Mereka terdiri atas penduduk asli setempat, serta pendatang dari Banten, Bogor, dan Priangan. Kemudian sejak 1526, datang penduduk baru dari wilayah pesisir Kesultanan Demak dan Cirebon yang beretnis dan berbudaya Jawa, seiring dengan proses Islamisasi dan perluasan wilayah kekuasaan kedua kesultanan itu. Mereka menempati daerah pesisir Tangeran sebelah barat”.[1]
Orang Banten yang menetap di daerah Tangerang diduga merupakan warga campuran etnis Sunda, Jawa, Cina, yang merupakan pengikut Fatahillah dari Demak yang menguasai Banten dan kemudian ke wilayah Sunda Calapa. Etnis Jawa juga makin bertambah sekitar tahun 1526 tatkala pasukan Mataram menyerbu VOC. Tatkala pasukan Mataram gagal menghancurkan VOC di Batavia, sebagian dari mereka menetap di wilayah Tangeran.
Orang Tionghoa yang bermigrasi ke Asia Tenggara sejak sekitar abad 7 M, diduga juga banyak yang kemudian menetap di Tangeran seiring berkembangnya Tionghoa-muslim dari Demak. Di antara mereka kemudian banyak yang beranak-pinak dan melahirkan warga keturunan. Jumlah mereka juga kian bertambah sekitar tahun 1740. Orang Tionghoa kala itu diisukan akan melakukan pemberontakan terhadap VOC. Konon sekitar 10.000 orang Tionghoa kemudian ditumpas dan ribuan lainnya direlokasi oleh VOC ke daerah sekitar Pandok Jagung, Pondok Kacang, dan sejumlah daerah lain di Tangeran.. Di kemudian hari, di antara mereka banyak yang menjadi tuan-tuan tanah yang menguasai tanah-tanah partikelir.
Penduduk berikutnya adalah orang-orang Betawi yang kini banyak tinggal di perbatasan Tangerang-Jakarta. Mereka adalah orang-orang yang di masa kolonial tinggal di Batavia dan mulai berdatangan sekitar tahun 1680. Diduga mereka pindah ke Tangeran karena bencana banjir yang selalu melanda Batavia.
Menurut sebuah sumber, pada tahun 1846, daerah Tangeran juga didatangi oleh orang-orang dari Lampung. Mereka menempati daerah Tangeran Utara dan membentuk pemukiman yang kini disebut daerah Kampung Melayu (Thahiruddin, 1971)[2]. Informasi mengenai seputar migrasi orang Lampung, akan dibahas dalam tulisan ini di bagian bab berikutnya,
Di jaman kemerdekaan dan Orde Baru, penduduk Tangerang makin beragam etnis. Berkembangnya industri di sana, mengakibatkan banyak pendatang baik dari Jawa maupun luar Jawa yang akhirnya menjadi warga baru. Menurut sensus penduduk tahun 1971, penduduk Tangerang berjumlah 1.066.695, kemudian di tahun 1980 meningkat menjadi 1.815.229 dan hingga tahun 1996 tercatat mencapai 2.548.200 jiwa. Rata-rata pertumbuhan per-tahunnya mencapai 5,23% per tahun.
Untuk sekedar memetakan persebaran etnis-etnis di Tangerang, dapat disebutkan di sini bahwa daerah Tangerang Utara bagian timur berpenduduk etnis Betawi dan Cina serta berbudaya Melayu Betawi. Daerah Tangerang Timur bagian selatan berpenduduk dan berbudaya Betawi. Daerah Tangeran Selatan berpenduduk dan berbudaya Sunda. Sedang daerah Tangeran Utara sebelah barat berpenduduk dan berbudaya Jawa[3]. Persebaran penduduk tersebut di masa kini tidak lagi bisa mudah dibaca mengingat banyaknya pendatang baru dari berbagai daerah. Maka, apabila ingin mengetahui persebaran etnis di Tangerang, tentunya dibutuhkan studi yang lebih mendalam.
B. Asal-usul Tangerang disebut juga sebagai Kota
Untuk mengungkapkan asal-usul tangerang sebagai kota "Benteng", diperlukan catatan yang menyangkut perjuangan. Menurut sari tulisan F. de Haan yang diambil dari arsip VOC,resolusi tanggal 1 Juni 1660 dilaporkan bahwa Sultan Banten telah membuat negeri besar yang terletak di sebelah barat sungai Untung Jawa, dan untuk mengisi negeri baru tersebut Sultan Banten telah memindahkan 5 sampai 6.000 penduduk.
Kemudian dalam Dag Register tertanggal 20 Desember 1668 diberitakan bahwa Sultan Banten telah mengangkat Radin Sina Patij dan Keaij Daman sebagai penguasa di daerah baru tersebut. Karena dicurigai akan merebut kerajaan, Raden Sena Pati dan Kyai Demang dipecat Sultan. Sebagai gantinya diangkat Pangeran Dipati lainnya. Atas pemecatan tersebut Ki Demang sakit hati. Kemudian tindakan selanjutnya ia mengadu domba antara Banten dan VOC. Tetapi ia terbunuh di Kademangan.
Dalam arsip VOC selanjutnya, yaitu dalam Dag Register tertanggal 4 Maret 1980 menjelaskan bahwa penguasa Tangerang pada waktu itu adalah Keaij Dipattij Soera Dielaga. Kyai Soeradilaga dan putranya Subraja minta perlindungan kompeni dengan diikuti 143 pengiring dan tentaranya (keterangan ini terdapat dalam Dag Register tanggal 2 Juli 1982). Ia dan pengiringnya ketika itu diberi tempat di sebelah timur sungai, berbatasan dengan pagar kompeni.
Ketika bertempur dengan Banten, ia beserta ahli perangnya berhasil memukul mundur pasikan Banten. Atas jasa keunggulannya itu kemudian ia diberi gelar kehormatan Raden Aria Suryamanggala, sedangkan Pangerang Subraja diberi gelar Kyai Dipati Soetadilaga. Selanjutnya Raden Aria Soetadilaga diangkat menjadi Bupati Tangerang I dengan wilayah meliputi antara sungai Angke dan Cisadane. Gelar yang digunakannya adalah Aria Soetidilaga I. Kemudian dengan perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 17 April 1684, Tangerang menjadi kekuasaan kompeni, Banten tidak mempunyai hak untuk campur tangan dalam mengatur tata pemerintahan di Tangerang. Salah satu pasal dari perjanjian tersebut berbunyi: "Dan harus diketahui dengan pasti sejauh mana batas-batas daerah kekuasaan yang sejak masa lalu telah dimaklumi maka akan tetap ditentukan yaitu daerah yang dibatasi oleh sungai Untung Jawa atau Tangerang dari pantai Laut Jawa hingga pegunungan-pegunungan sejauh aliran sungai tersebut dengan kelokan-kelokannya dan kemudian menurut garis lurus dari daerah Selatan hingga utara sampai Laut Selatan. Bahwa semua tanah disepanjang Untung Jawa atau Tangerang akan menjadi milik atau ditempati kompeni"
Dengan adanya perjanjian tersebut daerah kekuasaan bupati bertambah luas sampai sebelah barat sungai Tangerang. Untuk mengawasi Tangerang maka dipandang perlu menambah pos-pos penjagaan di sepanjang perbatasan sungai Tangerang, karena orang-orang Banten selalu menekan penyerangan secara tiba-tiba. Menurut peta yang dibuat tahun 1962, pos yang paling tua terletak di muara sungai Mookervaart, tepatnya disebelah utara Kampung Baru. Namun kemudian ketika didirikan pos yang baru, bergeserlah letaknya ke sebelah Selatan atau tepatnya di muara sungai Tangerang.
Menurut arsip Gewone Resolutie Van hat Casteel Batavia tanggal 3 April 1705 ada rencana merobohkan bangunan-bangunan dalam pos karena hanya berdinding bambu. Kemudian bangunannya diusulkan diganti dengan tembok. Gubernur Jenderal Zwaardeczon sangat menyetujui usulan tersbut, bahkan diinstruksikan untuk membuat pagar tembok mengelilingi bangunan-bangunan dalam pos penjagaan. Hal ini dimaksudkan agar orang Banten tidak dapat melakukan penyerangan. Benteng baru yang akan dibangun untuk ditempati itu direncanakan punya ketebalan dinding 20 kaki atau lebih. Disana akan ditempatkan 30 orang Eropa dibawah pimpinan seorang Vandrig(Peltu) dan 28 orang Makasar yang akan tinggal diluar benteng. Bahan dasar benteng adalah batu bata yang diperoleh dari Bupati Tangerang Aria Soetadilaga I.
Setelah benteng selesai dibangun personilnya menjadi 60 orang Eropa dan 30 orang hitam. Yang dikatakan orang hitam adalah orang-orang Makasar yang direkrut sebagai serdadu kompeni. Benteng ini kemudian menjadi basis kompeni dalam menghadapi pemberontakan dari Banten. Kemudian pada tahun 1801, diputuskan untuk memperbaiki dan memperkuat pos atau garnisun itu, dengan letak bangunan baru 60 roeden agak ke tenggara, tepatnya terletak disebelah timur Jalan Besar pal 17. Orang-orang pribumi pada waktu itu lebih mengenal bangunan ini dengan sebutan "Benteng". Sejak itu, Tangerang terkenal dengan sebutan Benteng. Benteng ini sejak tahun 1812 sudah tidak terawat lagi, bahkan menurut "Superintendant of Publik Building and Work" tanggal 6 Maret 1816 menyatakan: "...Benteng dan barak di Tangerang sekarang tidak terurus, tak seorangpun mau melihatnya lagi. Pintu dan jendela banyak yang rusak bahkan diambil orang untuk kepentingannya" taken from website kota tangerang
C. Sungai Cisadane
Sungai Cisadane. Sungai yang mata airnya berada di Gunung Salak-Pangrango dengan posisinya sebelah selatan Kabupaten Tangerang
ini merupakan sungai cukup besar melintasi Tangerang. Panjang sungai sendiri sekitar 80 kilometer dengan bermuara di Laut Jawa.
Sejak dahulu sungai Cisadane telah dimanfaatkan sebagai pengairan. Kompeni Belanda sendiri telah membuat sebuah bendungan guna mengatur debit air sungai Cisadane yang akan mengalir ke Batavia. Jika tidak demikian dikhawatirkan kota Batavia terendam banjir cukup parah.
Debit air sungai sendiri sangat bergantung curah hujan di daerah Bogor. Jika curah hujan tinggi bisa dipastikan debit air tinggi bahkan sampai akibatkan meluap. Saat penulis kecil, jarak rumah tidak terlalu jauh dari sungai. Pernah sekali warga sekampung dihebohkan air sungai yang meluap. Ketika itu mudah sekali mendapatkan ikan Lele, Sapu-Sapu, Gabus, dan lainnya. berbondong-bondong warga memenuhi tepi sungai dengan membawa ember. Senang sekali ketika itu bisa panen ikan tanpa repot memancing.
Entah apakah ikan-ikan masih banyak di sungai Cisadane, lantaran masih adanya beberapa industri yang membuang limbahnya ke aliran sungai. Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangerang saja pernah mengeluarkan laporan bahwa sungai kebanggan masyarakat Tangerang ini telah tercemar zat limbah seperti sianida, tembaga, seng, dan sebagainya. Ironinya, air sungai digunakan sebagai bahan baku produksi PDAM Kota dan Kabupaten Tangerang yang mensuplai kebutuhan air bersih masyarakat.
Untunglah masih ada perhatian pemerintah untuk menjaga kelestarian sungai Cisadane. Setidaknya pemerintah melarang pendirian rumah sepanjang bantaran sungai. Jika tidak, tentu limbah rumah tangga menambah pencemaran. Bisa jadi air sungai yang semula coklat berubah menjadi hitam dan bau seperti nasib sejumlah sungai di kota Jakarta. Pemerintah juga bertindak keras terhadap industri yang masih bandel membuang sampah ke sungai.
Pernah ada rencana menjadikan sungai Cisadane sebagai objek wisata dengan menyediakan perahu yang bisa disewa untuk susuri sungai. Hanya saja, rencana yang sudah terlakana itu tidak ditangani serius. Saat ini paling setahun sekali digelar Festival Perahu Naga yaitu lomba dayung di atas sungai Cisadane.
Menurut seorang sesepuh, Sungai Cisadane masa lalu lebarnya lebih luas dibandingkan kondisi saat ini. Ketika itu pedagang bamboo sering melintas. Penulis sendiri masih bisa melihat semasa kecil. Pemandangan yang menarik. pedagang bamboo berdiri di atas rakit yang juga dibuat dari batang-batang bamboo. Perlahan-lahan si pedagang mendayung rakitnya. Dalam sehari bisa lebih dari tiga kali pedagang melintas. Rasanya pemerintah perlu melirik membuat jalur transportasi air melalui sungai Cisadane.
Aroma mistis pun tidak bisa lepas jika membicarakan sungai Cisadane. Konon sering dikabari terdapat siluman buaya putih di sungai ini. Siluman ini berwujud buaya dan suka memangsa orang-orang yang sedang beraktifitas di tepi sungai, seperti mandi atau mencuci. Sampai pertengahan 80-an, memang masih ada masyarakat yang menggunakan aliran sungai Cisadane untuk mandi atau cuci. Buaya sendiri pun masih bisa ditemukan karena penulis pernah menemukannya di halaman belakang rumah.
Tetapi masa kini sungai Cisadane menghadapi tantangan jaman yang begitu berat. Upaya melestarikan bisa terus berlangsung jika sungai Cisadane dijadikan sebagai symbol kota. Sehingga anak-cucu pun masih bisa menyaksikan sebuah sungai yang bersih dan indah.
D. Sejarah Pembuatan Topi Bambu
Catatan ditulis oleh Jurnalis Tionghoa Peranakan Oey Hok Tjay yang asli Tangerang.
Menurut Hok Tjay, topi bambu atau pandan buatan Tangerang ini dikerjakan para wanita yang sangat digemari di Asia Tenggara hingga Eropa. Pembuatan topi berpusat di beberapa desa seperti Balaraja, Cikupa, Tigaraksa, Tenjo dan lain-lain. Pembelian topi dilakukan para tengkulak yang b erkeliling desa. Selanjutnya topi dikirim ke pabrik-pabrik topi di Tangerang untuk mendapat sentuhan akhir lalu dipak sebelum dikirim ke luar negeri, kata Hok Tjay.
Pada jaman Hindia Belanda, ujar Hok Tjay, bisnis topi bambu dan pandan dilakukan oleh orang Betawi, Sunda dan Tionghoa. Barulah belakangan ada tiga perusahaan milik bangsa Eropa yang terlibat bisnis topi yang dibuat secara mekanis setelah listrik masuk ke wilayah Tangerang. Sayang, kini nyaris tidak terdengar atau pun tersisa topi Tangerang yang bersejarah itu. Sejatinya industri topi pandan dan bambu Tangerang adalah sebuah usaha kecil dan menengah yang tumbuh alami di jaman pra-kemerdekaan. Industri sempat hancur karena ada kerusuhan anti-Tionghoa akibat provokasi NICA di masa revolusi fisik seperti dicatat Pramoedya Ananta Toer dalam Hoakiau di Indonesia.
Kini industri yang tumbuh di Tangerang adalah pabrik-pabrik besar dengan polusi. Masyarakat setempat hidup pas-pasan, itu pun untuk mencari kerja, mereka harus membayar kepada para oknum penguasa setempat yang mengaku sebagai jawara . Industri topi bambu dan pandan Tangerang pun tinggal kenangan. Padahal potensi untuk menghidupkan produk eksotis itu masih ada, Paul Verhoeven yang aktif di Museum Koninlijke Netherlands Indie Leger (KNIL), Broonbeek, Arnhem, Kerajaan Belanda mengaku belum berhasil mencari perajin yang mampu membuat topi pandan atau topi bambu yang digunakan serdadu KNIL tempoe doeloe. Lagipula produk tersebut sangat ramah lingkungan dan memberdayakan masyarakat kecil.
Pada tahun 1800-an sampai awal 1900-an Kabupaten Tangerang dikenal sebagai pusat kerajinan topi bambu. Topi bambu dari Tangerang ini diekspor ke Amerika dan Eropa. Bahkan, topi bambu Tangerang dikabarkan pernah merajai Paris.
Dalam rangka mencari kembali pusat-pusat produksi topi bambu yang pada zaman itu berada di daerah Cikupa, Tigaraksa dan Balaraja, TopiBambu menemukan sebuah kampung yang masih memiliki sisa-sisa penganyam topi bambu. Kampung itu adalah Kampung Ciakar yang terletak di Desa Ciakar, Kecamatan Panongan. TopiBambu mendata setidaknya masih ada sekitar 20 orang pengrajin topi bambu di Kampung Ciakar.
Ada pun jenis topi bambu yang dianyam oleh pengrajin di Kampung Ciakar adalah topi bambu jenis tudung belenong, capio dan peradah. Tudung belenong adalah sejenis topi bambu yang bentuknya menyerupai belenong sehingga disebut dengan tudung belenong. Capio adalah topi bambu seperti topi pramuka. Sedangkan peradah adalah topi bambu untuk hiasan dinding. Peradah biasanya terdiri dari 5 atau 7 topi bambu dari ukuran kecil sampai besar.
Kalau Kita coba mencari sejarah Tangerang , Kita akan Banyak menemukan kutipan-kutipan yang bersumber dari “Jalan Raya Pos, Jalan Daendels, Pramoedya Ananta Toer, Lentera Dipantara” yang isinya kira-kira sebagai berikut:
“Topi anyaman bambu telah membuat tempat ini (tangerang) terkenal di dunia. Pada 1887 saja Tangerang telah mengekspor topi 145 juta buah, terutama ke Prancis. Telah menjadi kebiasaan dalam kurun tersebut, topi Tangerang dipergunakan oleh para pekerja pelabuhan baik di Eropa maupun di Amerika, dan terutama Amerika Latin. Sejak masa pendudukan Jepang, disusul Revolusi dan kemerdekaan nasional, industri topi bambu gulung tikar dan nampaknya takkan bangun lagi untuk selama lamanya”
E. Asal-Usul Tangerang disebut juga sebagai kota Banteng
Untuk mengungkapkan asal-usul tangerang sebagai kota “Benteng”, diperlukan catatan yang menyangkut perjuangan. Menurut sari tulisan F. de Haan yang diambil dari arsip VOC,resolusi tanggal 1 Juni 1660 dilaporkan bahwa Sultan Banten telah membuat negeri besar yang terletak di sebelah barat sungai Untung Jawa, dan untuk mengisi negeri baru tersebut Sultan Banten telah memindahkan 5 sampai 6.000 penduduk.
Kemudian dalam Dag Register tertanggal 20 Desember 1668 diberitakan bahwa Sultan Banten telah mengangkat Radin Sina Patij dan Keaij Daman sebagai penguasa di daerah baru tersebut. Karena dicurigai akan merebut kerajaan, Raden Sena Pati dan Kyai Demang dipecat Sultan. Sebagai gantinya diangkat Pangeran Dipati lainnya. Atas pemecatan tersebut Ki Demang sakit hati. Kemudian tindakan selanjutnya ia mengadu domba antara Banten dan VOC. Tetapi ia terbunuh di Kademangan.
Dalam arsip VOC selanjutnya, yaitu dalam Dag Register tertanggal 4 Maret 1980 menjelaskan bahwa penguasa Tangerang pada waktu itu adalah Keaij Dipattij Soera Dielaga. Kyai Soeradilaga dan putranya Subraja minta perlindungan kompeni dengan diikuti 143 pengiring dan tentaranya (keterangan ini terdapat dalam Dag Register tanggal 2 Juli 1982). Ia dan pengiringnya ketika itu diberi tempat di sebelah timur sungai, berbatasan dengan pagar kompeni.
Ketika bertempur dengan Banten, ia beserta ahli perangnya berhasil memukul mundur pasikan Banten. Atas jasa keunggulannya itu kemudian ia diberi gelar kehormatan Raden Aria Suryamanggala, sedangkan Pangerang Subraja diberi gelar Kyai Dipati Soetadilaga. Selanjutnya Raden Aria Soetadilaga diangkat menjadi Bupati Tangerang I dengan wilayah meliputi antara sungai Angke dan Cisadane. Gelar yang digunakannya adalah Aria Soetidilaga I. Kemudian dengan perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 17 April 1684, Tangerang menjadi kekuasaan kompeni, Banten tidak mempunyai hak untuk campur tangan dalam mengatur tata pemerintahan di Tangerang. Salah satu pasal dari perjanjian tersebut berbunyi: “Dan harus diketahui dengan pasti sejauh mana batas-batas daerah kekuasaan yang sejak masa lalu telah dimaklumi maka akan tetap ditentukan yaitu daerah yang dibatasi oleh sungai Untung Jawa atau Tangerang dari pantai Laut Jawa hingga pegunungan-pegunungan sejauh aliran sungai tersebut dengan kelokan-kelokannya dan kemudian menurut garis lurus dari daerah Selatan hingga utara sampai Laut Selatan. Bahwa semua tanah disepanjang Untung Jawa atau Tangerang akan menjadi milik atau ditempati kompeni”
Ketika bertempur dengan Banten, ia beserta ahli perangnya berhasil memukul mundur pasikan Banten. Atas jasa keunggulannya itu kemudian ia diberi gelar kehormatan Raden Aria Suryamanggala, sedangkan Pangerang Subraja diberi gelar Kyai Dipati Soetadilaga. Selanjutnya Raden Aria Soetadilaga diangkat menjadi Bupati Tangerang I dengan wilayah meliputi antara sungai Angke dan Cisadane. Gelar yang digunakannya adalah Aria Soetidilaga I. Kemudian dengan perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 17 April 1684, Tangerang menjadi kekuasaan kompeni, Banten tidak mempunyai hak untuk campur tangan dalam mengatur tata pemerintahan di Tangerang. Salah satu pasal dari perjanjian tersebut berbunyi: “Dan harus diketahui dengan pasti sejauh mana batas-batas daerah kekuasaan yang sejak masa lalu telah dimaklumi maka akan tetap ditentukan yaitu daerah yang dibatasi oleh sungai Untung Jawa atau Tangerang dari pantai Laut Jawa hingga pegunungan-pegunungan sejauh aliran sungai tersebut dengan kelokan-kelokannya dan kemudian menurut garis lurus dari daerah Selatan hingga utara sampai Laut Selatan. Bahwa semua tanah disepanjang Untung Jawa atau Tangerang akan menjadi milik atau ditempati kompeni”
Dengan adanya perjanjian tersebut daerah kekuasaan bupati bertambah luas sampai sebelah barat sungai Tangerang. Untuk mengawasi Tangerang maka dipandang perlu menambah pos-pos penjagaan di sepanjang perbatasan sungai Tangerang, karena orang-orang Banten selalu menekan penyerangan secara tiba-tiba. Menurut peta yang dibuat tahun 1962, pos yang paling tua terletak di muara sungai Mookervaart, tepatnya disebelah utara Kampung Baru. Namun kemudian ketika didirikan pos yang baru, bergeserlah letaknya ke sebelah Selatan atau tepatnya di muara sungai Tangerang.
Menurut arsip Gewone Resolutie Van hat Casteel Batavia tanggal 3 April 1705 ada rencana merobohkan bangunan-bangunan dalam pos karena hanya berdinding bambu. Kemudian bangunannya diusulkan diganti dengan tembok. Gubernur Jenderal Zwaardeczon sangat menyetujui usulan tersbut, bahkan diinstruksikan untuk membuat pagar tembok mengelilingi bangunan-bangunan dalam pos penjagaan. Hal ini dimaksudkan agar orang Banten tidak dapat melakukan penyerangan. Benteng baru yang akan dibangun untuk ditempati itu direncanakan punya ketebalan dinding 20 kaki atau lebih. Disana akan ditempatkan 30 orang Eropa dibawah pimpinan seorang Vandrig(Peltu) dan 28 orang Makasar yang akan tinggal diluar benteng. Bahan dasar benteng adalah batu bata yang diperoleh dari Bupati Tangerang Aria Soetadilaga I.
Setelah benteng selesai dibangun personilnya menjadi 60 orang Eropa dan 30 orang hitam. Yang dikatakan orang hitam adalah orang-orang Makasar yang direkrut sebagai serdadu kompeni. Benteng ini kemudian menjadi basis kompeni dalam menghadapi pemberontakan dari Banten. Kemudian pada tahun 1801, diputuskan untuk memperbaiki dan memperkuat pos atau garnisun itu, dengan letak bangunan baru 60 roeden agak ke tenggara, tepatnya terletak disebelah timur Jalan Besar pal 17. Orang-orang pribumi pada waktu itu lebih mengenal bangunan ini dengan sebutan “Benteng”. Sejak itu, Tangerang terkenal dengan sebutan Benteng. Benteng ini sejak tahun 1812 sudah tidak terawat lagi, bahkan menurut “Superintendant of Publik Building and Work” tanggal 6 Maret 1816 menyatakan: “…Benteng dan barak di Tangerang sekarang tidak terurus, tak seorang pun mau melihatnya lagi. Pintu dan jendela banyak yang rusak bahkan diambil orang untuk kepentingannya”
F. Masjid Raya Al A'zhom
Mesjid Raya Al A’zhom merupakan Mesjid Terbesar dan termegah di Kota Tangerang, dimana Peletakan Batu Pertama Pembangunan Mesjid ini dilakukan oleh Walikotamadya Tangerang pada Tangggal 07 Juli 1997 oleh Bpk. Drs. H. Djakaria Machmud dan Peresmian selesai Pembangunan Mesjid diresmikan oleh Pengganti Beliau yakni Drs. H. Moch Thamrin pada tanggal 23 April 2003.
Masjid Raya Al-Azhom ini dibangun di atas lahan seluas 2,25 Ha dengan luas bangunan 5.775m2 terdiri dari lantai bawah 4.845,08m2 dan lantai atas 909,92m2, dengan kapasitas dapat menampung jamaah sebanyak 15.000 orang. yang menarik dari mesjid ini adalah dibangun dengan 4 kubah setengah lingkaran yang merupakan Kubah Penyangga dan 1 kubah Utama bagian atas, sehingga dengan adanya kombinasi arsitektur seperti itu tidak diperlukan tiang untuk menyangga Kubah, sehingga kesan didalam ruangan mesjid sangat luas, lapang dan sangat nyaman serta sejuk.
Rancangan bangunan Masjid Raya yang memiliki esensi dan referensi dari al-Qur’an dan Sunah Rasul serta seni Islam (arabesque), mencerminkan hakikat Tauhidah, serta kaitan dunia dan akhirat yang ditandai dengan unsur-unsur garis lurus dan lengkung. Fasilitas yang melengkapi bangunan masjid tersebut terdiri dari ruang wudhu pria/wanita, ruang mihrab dan persiapan, ruang sholat pria/wanita, ruang pengkajian, ruang perpustakaan, ruang kantor dan peralatan/halaman masjid.
Sungguh menarik memperhatikan dan mengamati bangunan mesjid ini, dan kitapun akan betah berlama-lama untuk bertafakur dan berzikir kepada Allah SWT dimesjid yang Indah ini, saya memasuki ruang wudhu ruangan tertata dan bersih sekali. jam 11:30 saya sampai di mesjid ini dan mengabadikan dari kejauhan dan kemudian jam 11:45 saya sudah berada didalam mesjid untuk mengikuti Shallat Jum’at, hening, nyaman dan suasana khusus akan menyelimuti badan kita ketika kita berada didalamnya.
Kebetulan Shalat Jum’at kali ini di Imami oleh Bpk Fariz Hasbi M.Ag dengan Khotob Drs. Azis Sumarno Syafei dan selaku Bilal oleh Bpk Safruddin Hidayatullah S.Ag. Mendengarkan Suara Beduk dan Panggilan Azan yang sungguh membuat hati ini tergugah, dan Kebetulah Khotib mengetengahkan Mimbar Jum’at yang Mengajak Umat untuk hidup dengan Ridho kepada Allah, dengan hidup seperti itu maka kehidupan kita akan dipenuhi oleh kebahagian dan keselamatan, selain dari pada itu Khotib juga mengajak Umat untuk membentengi diri dan keluarga dari pengaruh-pengaruh negatif teknologi informasi yang berkembang sekarang ini dengan jalan memberikan pemahaman agama dan pengertian akan bahaya yang timbul.
Mesjid Raya Al Azhom merupakan mesjid yang menjadi icon kota tangerang, dimana semenjak di Pimpin oleh Bpk. Walikota Wahidin Halim, perkembangan kota ini sungguh sangat tertata dengan baik dan menjadi simbol perkembangan dengan mengedepankan nilai-nilai keislaman dengan motto ” Membangun dengan Akhlakul Karimah”.
G. Peh Chun
Peh Chun Nonton Peh Cun di Ka1i Tangerang Sane-sini aeh rame bukan kepalang Bang Mamat dan Mpok Mide ampe lupe pulang… LANTUNAN suara Ida Royani yang diiringi Orkes Gambang Kromong Naga Mustika barusan, mungkin akrab bagi pendengarnya di tahun 70-an. Ketika itu sejumlah radio swasta kerap memutar lagu berjudul “Nonton Peh Cun” ini atas permintaan pendengar. Repertoire lagu berirama gambang kromong seperti ini, sekarang tak pernah lagi diperdengarkan dalam ruang publik kita. Boleh jadi, lantaran kalah pamor dengan genre musik masa kini. Makanya, di kalangan orang Betawi sendiri paling banter hanya orang yang lebih tua yang dapat menceritakan nostalgia meriah pesta Peh Chun seperti yang digambarkan dalam syair lagu gambang kromong tadi. Pesta Peh Chun adalah untuk memperingati l00 hari tahun baru China (Imlek). Tahun Baru Imlek atau yang disebut Sin Tjia oleh masyarakat keturunan China yang berbahasa Hokkian, bermula dari ungkapan rasa gembira para petani di Tiongkok zaman dahulu kala untuk menyambut musim semi (Chun), yaitu saat mereka dapat kembali bekerja kembali di sawah.
0 komentar:
Posting Komentar