Cerpen



RAKET PATAH
Oleh : Windi Febriana Putri

Pada malam minggu, ayah mengajak Azus untuk melihat pertandingan bulutangkis di desanya. Kebetulan lapangan bulutangkis itu letaknya tidak jauh dari rumahnya hanya berjarak 100 meter. Jadi ayah dan Azus hanya berjalan kaki untuk menuju ke lapangan bulutangkis tersebut.
“Yah, kita akan kemana?”
“Kita akan melihat pertandingan bulutangkis di lapangan desa, kebetulan ada pertandingan antara desa Kalijoso dengan desa Payaman”
“Wah asyik, ayo yah aku sudah tak sabar melihatnya”
Ayah dan Azus tiba dilapangan bulutangkis desa, saat itu penonton sudah ramai untuk menonton pertandingan tersebut, tidak hanya warga desa Kalijoso saja tetapi banyak pula penonton dari desa lain yang hadir untuk melihat pertandingan tersebut.
“Rame sekali yah, pasti pertandingannya seru”
“Ayo kita ke depan supaya bisa melihat pertandingan dengan jelas”
Tak lama kemudian, pertandingan berakhir dan dimenangkan oleh desa Kalijoso. Akhirnya Ayah mengajak Azus pulang ke rumah karena malam semakin larut.
Suatu pagi, seperti biasa Azus, ayah, ibu dan adiknya sarapan bersama di meja makan. Azus makan sangat lahap karena pagi itu ibu memasak telor mata sapi kesukaannya.
“Masakan ibu enak sekali” puji Azus sambil melahap sisa makanan terakhir
“Kalau kamu mau bisa nambah lagi”, jawab ibu sambil tersenyum
“Aku harus makan yang banyak supaya bisa jadi Pemain Bulutangkis yang hebat”
“Azus ingin menjadi pemain bulutangkis?” Jawab Ayah.
“Iya yah, pemain bulutangkis itu hebat. Azus ingin seperti mereka.”
“Tidak sia-sia semalam Ayah ajak kamu melihat pertandingan bulutangkis. Ayah dukung kemauanmu.”
“Asyikkk . . . Azus belikan raket ya yah”

“Iya, asalkan kamu berjanji untuk giat berlatih”.
“Pasti yah azus janji akan giat untuk berlatih. Yah, bu Azus berangkat sekolah dulu ya” sambil mencium tangan ayah dan ibu.
“Iya hati-hati”, jawab ayah dan ibu bebarengan.
Sampai di sekolah Azus bertemu dengan A dan B teman dekatnya di gerbang sekolah. Lalu mereka bertiga masuk ke kelas bebarengan karena mereka masuk ke kelas yang sama.
Tiba di kelas mereka berbincang-bincang mengenai pertandingan semalam.
“Zus, malam minggu kemarin kamu nonton pertandingan bulutangkis di lapangan desa?” Tanya Adi
“Iya , aku diajak Ayahku untuk menonton pertandingan itu, seru sekali pertandingannya” Jawab Azus sambil meletakan tasnya.
“Aku juga nonton zus, tapi kok aku gak liat kamu ya?” sambung Budi.
“Iya aku juga gak liat kamu Bud, mungkin kita terlalu asyik melihat pertandingannya” Jawab Azus.
“Haha iya benar, saking asyiknya kita sampai tidak memperdulikan penonton yang lain”. Sambung Adi
“Eh iya temen-temen, gimana kalau nanti pulang sekolah kita bermain bulutangkis?” Ajak Azus.
“Kamu sudah punya raket zus?” Tanya Adi.
“Iya ayahku sudah membelikanku raket untuk berlatih” Jawab Azus
“Yasudah nanti kita ketemu di lapangan depan rumaku jam 1 ya”. Sambung Budi
“oke siap!!!”jawab  azus dan Adi serempak dengan penuh semangat.
Akhirnya bel pulang sekolah pun berbunyi, mereka pulang bersama dan terpisah di pertigaan jalan. Mereka akan bertemu lagi di lapangan bulutangkis depan rumah Budi.
“Assalamu’alaikum , Azus sudah pulang mau makan sudah lapar bu”
“Ibu sudah masak untuk kamu zus, makan yang banyak ya”
“Iya bu. Bu, nanti Azus mau bermain bulutangkis sama Adi dan Budi ya”
“Yasudah makannya dihabiskan dulu, ganti baju lalu bermain  bersama Adi dan Budi. Yang penting pulangnya jangan sore-sore”.
“Oke bu”
Azus mengganti pakaiannya dan lalu bersiap-siap untuk bermain bulutangkis bersama teman-temannya. Seperti kesepakatan yang sudah mereka buat, mereka akan berkumpul di lapangan bulutangkis depan rumah Budi jam 1. Azus pun segera pergi ke rumah Budi dengan mengayuh sepedanya.
Sesampainya di lapangan, ternyata Adi dan Budi sudah menunggu Azus disana. Walaupun masih anak kecil karena mereka masih siswa SD kelas 5 tetapi penampilan mereka sudah layaknya seperti para pemain bulutangkis. Mengenakan kaos bulutangkis, celana bulutangkis dan sepatu sekaligus kaos kaki.
“Hompimpa alaium gambreng, yee aku menang” sorak Azus kegirangan.
“Ayo Budi kita suit” ajak Adi kepada Budi.
“Batu kertas gunting”
“Yey aku menang, berarti aku lawan Azus ya, Budi kamu jadi wasitnya” kata Adi senang.
Pada pertandingan pertama Azus melawan Adi, dan Budi menjadi wasitnya. Budi akan bermain melawan pemenang pada pertandingan antara Azus dan Adi. Selang beberap menit kemudian.
“krakkkkkk, haaahhhhhhhhh raketku patah” teriak Azus sambil berlari mengambil patahan raketnya.
“Kok raketmu bisa patah seperti itu ya?” tanya Budi.
“Iya, raketku juga baik-baik saja tidak lecet sedikitpun” kata Adi sambil menghampiri Azus.
“Coba aku lihat raketmu zus” pinta Budi mengambil raket dari tangan Azus.
“Iya Budi, ini”. Kata Azus sambil bersedih.
“Yah pantas saja zus, ini raket murah jadi mudah patah kalau untuk bermain yg keras” Kata Budi memperhatikan raket Azus.
“Lalu aku harus gimana? Aku takut dimarahi ayah”. Kata Azus menunduk.
“Kamu bilang jujur ke ayahmu kalau raketmu patah untuk bermain tadi” jawab Adi mencoba menenangkan Azus.
“Iya Zus kamu harus bilang apa yang sebenarnya terjadi, ayahmu pasti tak akan marah” sambung Budi.
“Yasudah aku pulang dulu ya teman-teman, kalian lanjut saja bermainnya” pamit Azus kepada teman-temannya.
“Kita antar kerumahmu zus, sekalian kita yang akan bilang ke ayahmu apa yang terjadi”. Ajak Adi.
“Tidak usah teman-teman, kalian lanjut bermain saja, aku pulang sendiri”. Aku pulang ya teman-teman” pamit Azus dan lalu mengayuh sepedanya meninggalkan teman-temannya.
Sesampainya di rumah Azus nampak bingung harus dikemanakan raketnya itu supaya ayahnya tidak melihat bahwa raketnya rusak, iya mengendap-endap dan akhirnya raket itu ia sembunyikan di bawah kasurnya. Azus berharap raketnya tidak ditemukan ayahnya, ia berfikir ayahnya pasti akan marah jika tahu bahwa raketnya patah. Hatinya tak tenang karena harus menyembunyikan sesuatu yang mungkin suatu saat dapat ketahuan. Hatinya berkecamuk.
“Apa aku jujur saja ke ayah kalau raketnya patah?” Ah jangan jangan, pasti ayah akan marah dan akan menghukumku” kata Azus dalam hati.
Beberapa hari kemudian adalah malam minggu, seperti biasa Ayah Azus akan mengajak Azus untuk berlatih bulutangkis, kali ini Azus akan didaftarkan di sekolah bulutangkis.
“Zus, ayo ikut ayah”. Ajak ayah
“Kita akan kemana yah?” Tanya Azus
“Malam ini ayah akan mengantarmu ke sekolah bulutangkis supaya kamu bisa terlatih disana, bawa raketmu ya” pinta ayah.
“Tapi yah, Azus sepertinya tidak bisa”, kata Azus dengan suara gugup.
“Ah andai raketku tidak patah, aku ingin sekali ikut ayah ke sekolah bulutangkis”, kata Azus kemudian dalam hati.
“Kenapa tidak bisa? Inikan malam minggu?”Tanya Ayah.
“eeehhhhmm . . . ya tidak bisa saja yah, oh iya Azus ada PR yang belum dikerjakan yah”.
“Benar kamu gak mau ikut ayah? Mau mengerjakan PR saja? Yasudah kalau begitu ayah berangkat sendiri”
“Tapi yah   . . . . , sebenarnya . . . Azus ingin sekali ikut yah tapi . . . tapi . . . raket Azus yang dibelikan ayah patah. Azus takut kalau ayah akan marah dan menghukum Azus. Maafkan Azus ya yah”. Pinta Azus dan memeluk ayah.
“kenapa raketnya bisa patah?” Tanya Ayah menatap Azus.
“Kemarin saat aku bermain dengan Adi, aku men-smash dengan keras lalu seketika raketnya terlepas dari tanganku dan patah yah. Maafin Azus ya yah”
“Iya taka pa nak, ayah bangga punya anak seperti kamu! Ayah senang kamu sudah berani jujur, ayah tidak akan marah sama kamu” kata ayah.
“Terimakasih yah, itu  raketnya aku sembunyikan di bawah tepat tidur hehe” Kata Azus tertawa samba menunjuk kolong tempat tidurnya.
“Bu, ambilkan sesuatu yang ada di atas lemari ya” pinta ayah.
“Ini yah?” Tanya ibu dengan membawa sesuatu
“Nah iya ini. Azus coba buka ini” pinta Ayah.
“Apa ini yah . . .Wah raket . . . Makasih Ayah!!!! Kok bisa yah, ayah membelikan Azus raket lagi?” Kata Azus kegirangan.
“Ayah memang sengaja membelikan raket 2, satunya yang bagus untuk berlatih satunya yang biasa untuk kamu main-main diluar”. Jawab Ayah
“Ayo yah kita ke sekolah bulutangkis, Azus sudah tak sabar untuk berlatih bulutangkis dengan raket baru ini!!” Ajak Azus.
“Baiklah, tapi harus janji ke ayah untuk giat berlatih dan jadi pemain bulutangkis hebat!” Kata ayah sambil menaiki sepeda motornya untuk siap ke sekolah bulutangkis.
“siap yah”!! Kata Azus beteriak bebarengan dengan suara motor mulai berjalan.
Lalu Azus pun terus berlatih dan semakin giat berlatih, tidak pernah ada sedikit pun absen mengikuti latihan bulutangkis. Ia selalu semangat dan tak pernah menyia-nyiakan kesempatan yang ia dapatkan saat ini. Hingga suatu hari ia dipercaya untuk mewakili sekolah bulutangkisnya bertanding di tingkat Kecamatan. Dan ternyata pada pertandingan pertamanya itu Azus mendapatkan juara 1. Ia membuktikan akan keseriusan dan janjinya kepada Ayahnya. Ayah Azus sangat bangga kepada Azus.


-          SEKIAN  -

0 komentar:



Posting Komentar